Kreasi aKu
Sabtu, 02 April 2011
My Story
tapi, terkadang seseorang digerogoti rasa bersalah karna cinta, padahal itu hal yang mustahil..
Jalani saja cinta sesuai realita.. tak boleh sampai berlarut-larut dalam kesedihan akan cinta..
Ia pasti datang kalau sudah waktunya..
Selasa, 23 November 2010
SEBUAH PENGAKUAN
Kabar itu kembali memekakan telinga
Menyumpal kuat
Dalam balutan kebohongan dan nista
Tatkala para penguasa
Bertakhta dalam keegoan
Dan tak mampu dilerai
Realita?
Benar, itu yang terjadi
Bukan fiktif atau ilusi
Tapi, sebuah tragedi
Yang terus menjadi-jadi
Si kaya dan si miskin?
Selaksa jurang pemisah
Lewat pertikaian yang tak berujung
Dalam dua kutub
tak seorang pun merasa takjub
Created by: likawati
SETUAK KATA
Raga…
Tak kuat tuk dibawa
Akan realita yang kian mengerucut
Membentuk medan kutub
Terpenjara dalam nestapa
Yang kian tak menentu
Cakrawala….
Tak mampu berikan jawaban
Rerumputan, pepohonan…
Ah… sama saja tak mampu ceritakan fakta.
Enyah kau dari sisiku
Bosan aku!
Akan rongrongan bermacam godaan
Aku yakin…
Aku pasti bisa mengatasinya…
karya : Likawati
SAYAP-SAYAP MALAIKAT
Katakan segara!
Apa yang kau rasakan…
Beribu cacian dan hinaan
Menikam perlahan-lahan
Akan para penguasa
Merongrong dalam kegelapan
Jangan hanya mematung…
Menjalankan segenap perintah yang mereka suruh
Kita punya sayap
Bebas tuk mengepakkan ke mana kita terbang.
Ada seberkas sinar kian menyeruak
Menuju relung hati
Yang Maha suci
Camkan!
Kita punya malaikat
Menjelma dalam balutan kain putih
Melanglang buana lewat kepakan sayapnya
Menaungi insan di alam fana
Membawanya menuju secercah sinar
Tuk berani membantah
Akan para penguasa
Yang bertakhta dalam keegoan belaka
Menentang hak kaum proletar
Yang menari-nari di atas dera dan siksaan
Tuturkan segara!
Kita punya wewenang tuk membantah
Kita punya hak asasi
Bebas berdemokrasi
Karya : likawati
LENTERA JIWA
Bait-bait kata kian terucap
Di kala malam yang kian senyap
Sunyi, sepi, disaksikan alam mayapada
Bergemuruh terbalut nestapa swarga
Rengkuhan dan rintihan
Menyelinap lewat ruh-ruh insan
Yang tak bertepi
Memacu andrenalin
Dalam wujud lentera jiwa
Merongrong di atas prasangka
Tuhan tidak buta
Melihat sandiwara dunia
Lewat wiracarita hanya sekedar ilusi belaka
Di manakah lentera jjiwa itu ada?
Karya : likawati
Di Balik Kekuatan Doa
Doa itu berkah...
Doa itu hikmah...
Doa itu anugrah...
Doa itu real...
Nyata adanya
Terbungkus dalam balutan nestapa
Para insan yang menghadap Sang Semesta
Derai tangis yang Maha Fitri
Suci dari segala dengki
Menyelinap lewat butiran tasbih
Terkulai lemas lewat tafakur
Terduduk diam dalam sujud syukur
Ruh Ilahiah yang sakral
Tuhan Maha Mendengar
Akan bisikan doa-doa
Yang tlah disampaikan
Oleh umat-Nya di alam raya
Karya : Likawati
Sabtu, 13 November 2010
SENANDUNG SIMFONI ALAM
Lembayung di langit senja
Kini menyiratkan goresan kuning keemasaan
Warnanya kian mengagumkan
Menaungi seluruh insan di alam fana
Yang kini tak mampu ceritakan fakta
Desiran angin malam...
Mengalunkan simfoni
Yang tak bertepi
Pepohonan dan gunung-gunung
Tersentak mengikuti irama
Nuansa alam yang ceria
Awan pun bergelut di angkasa
Terkesiap mendendangkan lagu
Sandiwara alam raya
Yang kian tak berujung
Burung-burung camar
Senantiasa menjadi saksi
Akan sejuta pertanyaan
Alam fana yang penuh keelegian
Karya: likawati
BERKATA DALAM SENYAP
Sketsa wajah langit kini tak mampu diterka
Penuh teka-teki dan kebisuan
Seraya tak mampu memberikan sejuta ramalan
Akan wiracarita para lakon dunia
Yang tak mampu berkata
Omong kosong!
Tak ada satupun dapat dipercaya
Penuh sandiwara
Benci! Aku maki
Ibarat berlayar dihempas gelombang
Musnah ditelan badai
Pasti!
Kisah ini kan berakhir
Terlepas dari segala penderitaan
Yang penuh dengan kebohongan
karya: likawati
DUA DUNIA
Tatapannya nanar
Bak elang yang kan menerkam
Terbang melayang menembus cakrawala
Apatah daya tak sampai jua
Menuju paradiso lewati asa
Dikala Sang Penguasa bertakhta
Di singgasana yang beralaskan permata
Dentingan dawai mengalunkan irama
Menyanyikan senandung lagu Nirwana
Itu jua sirna...
Dikala rintihan menyayat
Menusuk ulu hati
Terlontar dari mulut seorang insan
Lidah pun kelu
Akan siksaan Sang Pencabut Nyawa
Membawanya ke mayapada
Menghadap Sang Penguasa
Sedih bercampur iba
Tapi tak kuasa tuk melihat
Suram!
Kini benar-benar suram
Tak ada sekeping cahaya
Menuju alam nyata
Sekelebat bayangan menggerayangi
Apakah ini dinamakan mati?
Karya: likawati
TANGIS SEORANG INSAN
Langit kian berwarna kelabu
Tak berwarna jingga atau biru
Tampak di Singgasana sana
Tergores sketsa berwajah sendu
Fatamorgana pun turut berduka
Dikala seorang insan terpakur
Di atas pusara...
Dan tak seorang pun rela
Melepas kepergiannya
Sesal, sedih kian mendayu
Disaksikan hembusan angin yang tak menentu
Percuma! Aku berkata
Toh! Tak membuatnya bangkit dari pusara
Aku hanya mampu menangis
Akan peristiwa yang amat tragis
Mungkin, ini jalan yang Tuhan berikan
Pada setiap insan yang menanti kerinduan
Aku hanya mampu berdoa
Dalam untaian kata
Semoga kau diterima di sisi-Nya
Bunga kamboja yang terpatri
Memberikan sejuta saksi
Akan kenangan yang tlah terlewati
Di bumi fana ini
Karya: likawati
Puisi "Sepenggal Kematian"
Malaikat itu pun berkata
“ Apakah kau mampu melawan cobaan ini?”
Seseorang pun menjawab dengan kepolosannya
“ Ya aku mampu”
Tatkala iblis pun menyelinap dalam raga manusia
Reinkarnasi dalam setiap hembusan nafasnya
Tercekat, suara pun terputus
terbang terbawa duka nestapa
lenyap terbawa deru gelombang
hilang termakan asa.
Karya : likawati
Puisi "Saksi Lewat Selembar Kertas"
lewat selembar kertas
Hidup itu indah
Penuh misteri dan teka-teki
Tak mampu diterka dengan ilusi
Tapi, realita yang harus dijalani
Menapaki tiap denyut jantung
Dan sudut-sudut persendian
Hingga titik terakhir
Ibarat seorang pendaki
Yang terus menapaki tiap hembusan nafas
Cobaan,
Jangan takut tuk menapakinya
Selaksa mercusuar yang memberikan percikan-percikan
Api ke dalam rongga-rongga kehidupan
Takut ketika terjerembab
Dalam medan-medan kenikmatan
Yang penuh kemunafikan
Hidup itu luas
Hingga akhir batas
Tak ada sekat tuk menjalaninya
Kepenatan, keindahan, hingga penyesalan
Menyatu menjadi Satu
Dalam bongkahan-bongkahan raga
Yang hilang termakan asa.
karya : Likawati
Selasa, 10 Februari 2009
PERANAN PROFESI GURU
Senin, 09 Februari 2009
Popularitas novel sebagai genre sastra yang memiliki akar literer kuat pun lantas menjadi fenomena umum di Eropa hingga memasuki abad ke-19. Bahkan tumbuh dan berkembang sebagai bentuk karya sastra dengan varian tema, karakterisasi, plot, latar, dan gaya yang bermacam-ragam, bukan semata-mata karya prosa naratif fiksional. Milan Kundera, novelis Cekoslovakia, dalam L’Art du Roman (1986, terjemahan Inggrisnya The Art of the Novel terbit 1988 dan terjemahan Indonesianya Art of Novel terbit 2002) bahkan menyebut “penemu dunia modern” bukan hanya Descartes, tapi juga Cervantes. Melalui novelnya itu, Cervantes membawa kita “masuk ke sebuah dunia yang terbentang luas di belakangnya” lalu “menyelidiki dunia petulangan” dan “sedikit demi sedikit menemukan berbagai macam dimensi eksistensi” seraya “menerima dunia sebagai ambiguitas”.
Ambiguitas inilah yang sejatinya menjadi spirit sastra, menjadi the art of the novel, di mana kebenaran adalah relatif. Tidak ada lagi kebenaran tunggal, sebab yang ada adalah keragaman suara (polifonik) beserta seluruh kompleksitas permainan dan ketidakpastiannya. Spirit ini jelas berbeda, dan sekaligus menjadi penyeimbang bagi spirit Cartesian yang monofonik, lebih mengutamakan kepastian berpikir, yang memandang diri sebagai subjek rasional yang menguasai alam sebagai objek. Atau, dalam kata-kata Ahmad Sahal pada pengantar Derabat –Cerpen Pilihan Kompas 1999, subjek yang merengkuh kepastian kebenaran lewat filsafat dan sains.
**
Di Indonesia, karya prosa awal yang memenuhi unsur-unsur struktur sebuah novel modern ditengarai baru muncul pada akhir dekade kedua abad ke-20, suatu masa yang dalam sejarah politik disebut sebagai Kebangkitan Nasional. Saat itu terbit karya-karya Mas Marco Kartodikromo (di antaranya Student Hidjo, 1919) dan Merari Siregar (di antaranya Azab dan Sengsara, 1920). Novel-novel tersebut merekam suara atau semangat jaman kala itu, yaitu dunia pergerakan “bumiputera” mencari bentuk-bentuk ekspresi kesadaran, gagasan, dan sikap politik baru ketika menghadapi kenyataan di Hindia Belanda yang juga mereka rasakan bergerak. Walaupun demikian, novel yang diposisikan sebagai tonggak munculnya novel Indonesia modern adalah Belenggu karya Armijn Pane yang terbit 1940.
Novel Belenggu dipandang sebagai tonggak karena adanya pencarian konvensi-konvensi baru sebagai upaya keluar dan menyebal dari konvensi sastrawi lama, yang pada novel-novel sebelumnya masih kental bertutur dengan gaya hikayat atau dongeng. Selain itu, Belenggu juga dipandang menyodorkan sebuah dunia alternatif secara menyeluruh yang membawa dan mengembangkan berbagai kemungkinan penafsiran secara kaya dalam proses pemahaman kehidupan dengan seindah-indahnya.
Dengan demikian, dapatlah dikatakan bahwa usia historisitas novel Indonesia modern belumlah lagi seratusan tahun lamanya,. Jumlah para penulis novel pun jauh lebih kecil ketimbang jumlah para penyair. Acara-acara sastra, terutama pada dekade 1990-an, lebih banyak diwarnai, untuk tidak mengatakan dijubeli, oleh pertemuan para penyair dengan berbagai penerbitan buku puisi, pembacaan puisi, disertai segunung issue dan gunjing yang ruah. Saat itu bahkan muncul ungkapan “banjir bandang puisi”.
Namun pada penghujung abad ke-20 hingga permulaan abad ke-21 ini, novel seakan mengalami ledakan dahsyat. Dalam jarak waktu tak sampai sepuluh tahun (jika dihitung dari terbitnya novel Saman karya Ayu Utami, 1998) berlahiran puluhan, bahkan mungkin ratusan novel dalam semangat perayaan kebebasan menyatakan pendapat paska runtuhnya rejim Soeharto. Penerbit baru pun bermunculan serupa cendawan di musim penghujan; mereka tidak lagi menunggu naskah masuk, tapi begitu aktif mencari (dan dalam derajat tertentu “melahirkan”) penulis-penulis novel usia muda, bahkan belia.
Jika Saman, yang kemudian “melahirkan” novel-novel “sekuler” yang merayakan keterbukaan tanpa tedeng aling-aling hingga ke hal-hal yang sebelumnya dianggap tabu boleh ditempatkan pada ujung yang satu, maka pada ujung satunya lagi komunitas penulis muda Forum Lingkar Pena (FLP) yang bersebaran hingga ke daerah-daerah menggelontorkan fiksi, baik berbentuk cerita pendek maupun novel, yang dihasratkan mengusung nilai-nilai Islami. Di tengah itu, setahun terakhir ini menyembul pula novel-novel untuk perempuan muda yang disebut chiklit alias chick literature dan novel-novel tentang kehidupan remaja masa kini yang penuh keceriaan yang disebut teenlit alias teen literature, walau sesungguhnya jenis begituan bukanlah barang baru di Indonesia.
Fenomena ini tentu saja sungguh menggairahkan jika dinikmati dan dihikmati dengan kesadaran akan keberbagaian. Sebagai manusia yang mengklaim dirinya masyarakat demokratis di tengah semangat demokratisasi di seluruh bidang kehidupan, kehadiran karya yang berbagai-bagai itu dapatlah memberikan gambaran bahwa dunia fiksi Indonesia adalah dunia yang kaya, serupa lengkung pelangi di cakrawala atau kebun dengan beribu bunga warna-warni.
**
Tradisi menulis di Banten dapat ditandai sejak munculnya kitab Babad Banten. Kitab yang tidak diketahui siapa penulisnya (anonim) itu diperkirakan ditulis pada paruh kedua abad ke-17, sekira 1662 atau 1663, pada masa Sultan Abulfath Abdul Fatah alias Sultan Ageng Tirtayasa. Menurut Hoesein Djajadiningrat dalam Tinjauan Kritis Sajarah Banten (1913) kitab tersebut dipandang dari sudut historis dan historiografis merupakan kronik Jawa tertua yang berkisah mengenai kurun jaman diislamkannya tanah Jawa hingga Kesultanan Banten. Kisah itu disusun dalam bentuk tembang macapat yang terdiri atas enam puluh enam pupuh. Dengan demikian, Babad Banten dapatlah disebut sebagai karya sastra tulis permulaan di Banten.
Dua abad kemudian, abad ke-19, orang mengenal Syaikh Nawawi al-Bantani (Muhammad bin ‘Umar Nawawi al-Bantani) dari Tanara, Pontang, sebagai pujangga Muslim Indonesia paling produktif dengan puluhan karyanya yang ditulis dalam bahasa Arab. Nawawi, yang menghabiskan sebagian besar hidupnya di Makkah memperkenalkan dan menafsirkan kembali warisan intelektualnya, dan memperkayanya dengan menulis karya-karya baru berdasarkan kitab-kitab yang belum dikenal di Indonesia pada jamannya. Sehingga nyaris seluruh kyai jaman sekarang menganggapnya sebagai nenek moyang intelektual mereka.
Sejaman dengan Nawawi, orang Belanda bernama Eduard Douwes Dekker menjadi Asisten Residen Banten di Lebak. Karena kekecewaannya terhadap kesewenang-wenangan kekuasaan kolonial dan “bumiputera” yang merampasi kerbau dan memajak tanah dalam sistem Tanam Paksa, menggerakkan penanya menulis novel Max Havelaar dengan nama samaran Multatuli di sebuah losmen di Belgia pada 1859. Sekalipun Max Havelaar tidak ter(di)masuk(kan) dalam kesusastraan Indonesia, apalagi Banten, kisah Saijah dan Adinda dari Badur yang merupakan salah sebuah bagian cerita dalam novel berbingkai itu, telah menjelma menjadi khazanah cerita tersendiri yang sangat dikenal di Banten. Bahkan melampaui Max Havelaar, buku induknya, sekaligus juga pengarangnya.
Kemudian pada abad ke-20, Misbach Yusa Biran yang dilahirkan 1933 di Rangkasbitung, Lebak, bukan hanya dikenal sebagai wartawan maupun orang film, tapi juga sastrawan melalui naskah-naskah dramanya, di antaranya Bung Besar (tanpa tahun) dan Setengah Jam Menjelang Maut (1968). Pada masa ini dan sesudahnya, Banten memang banyak melahirkan seniman-seniman di wilayah teater dan film yang berkiprah di Jakarta, seperti Teguh Karya, Slamet Rahardjo Djarot, Eros Djarot, dan sebagainya. Sedangkan di wilayah prosa fiksi baru pada tahun 1988 muncul cerpen serial "Balada Si Roy" karya Gola Gong (lahir di Purwakarta, 1963) di Majalah Remaja HAI. Cerpen serial tersebut kemudian dibukukan (saya lebih suka menyebutnya dinovelkan) penerbit Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, dalam 10 jilid. Dan kini, 16 tahun kemudian, diterbitkan ulang Penerbit Beranda Hikmah, Jakarta.
Tidaklah berlebihan jika Gola Gong boleh disebut sebagai “membangunkan kembali prosa fiksi di Banten dari masa tidur lelap”. Selain Gola Gong menetap di Serang, Banten, Balada Si Roy dan puluhan novel serta cerpen-cerpennya yang terus mengalir deras dari tangannya (terlalu panjang untuk disebutkan satu per satu!) banyak membawa local genus, warna lokal tanah Banten. Bukan hanya latar waktu dan tempat terjadinya peristiwa, tapi juga latar sejarah-sosial-ekonomi-budaya-politik, walau tidak kental benar dan belum digarap secara mendalam. Abad ke-21! Selain Gola Gong yang terus berkarya dan sejumlah nama yang bergiat di wilayah kepenyairan, bermunculanlah para penulis prosa fiksi baik cerpen maupun novel. Sebagian besar bergiat di komunitas Sanggar Sastra Serang (S3) dan Rumah Dunia (RD) Serang. Pada November 2003, Tias Tatanka (Solo, 1971) bersama Gola Gong, yang notabene adalah suami-istri, meluncurkan novel Mimpi Sauni yang diterbitkan Senayan Abadi Publishing, Jakarta.
Januari 2004, penerbit yang sama meluncurkan kumpulan cerpen Kacamata Sidik karya 10 cerpenis yang aktif di S3 dan RD, yakni Gola Gong, Tias Tatanka, Toto ST Radik (Pontang, Serang, 1965), Qizink La Aziva (Anyer, Serang, 1977), Firman Venayaksa (Cianjur, 1980), Najwa Fadhia (Cigeulis, Pandeglang, 1981), Ibnu Adam Aviciena (Cibaliung, Pandeglang, 1982), Qorie Lawa (Jakarta, 1984), Wangsa Nestapa (Serang, 1985) dan Adkhilni M.S. (Serang, 1986). Lalu April 2004, Qizink La Aziva menerbitkan novel pertamanya Gerimis Terakhir (DAR!Mizan, Bandung).
Kemudian pada November-Desember 2004 bakal diramaikan beberapa buku fiksi yang siap terbit. Panggil Aku Bunga, kumpulan cerpen Ibnu Adam Aviciena dan Najwa Fadhia akan diterbitkan Gema Insani Press, Jakarta. Segera sesudah itu, dua antologi cerpen para pengarang S3 dan RD juga akan diterbitkan Penerbit Akur, Jakarta. Disusul Ibnu Adam Aviciena (lagi!) dengan novelnya Matahati Matahari: Mana Bidadari yang Kuminta? oleh Penerbit Beranda Hikmah, Jakarta. Sementara Firman Venayaksa, Qorie Lawa, dan Wangsa Nestapa tak ingin ketinggalan, suntuk menyiapkan novelnya masing-masing untuk 2005.
Di luar lingkaran komunitas S3 dan RD, tersebutlah Herwan FR (lahir di Cirebon, 1971) yang menerbitkan novel Mata Perempuan (Untirta Press, Serang, Juli 2003) dan Prana Badrun (lahir di Menes, Pandeglang) dengan novel Kepak Sayap Malaikat (UNMA Press, Pandeglang, 2003). Sedangkan dari Rangkasbitung, Lebak, Chavchay Syaifullah (lahir di Jakarta, 1977) menyodorkan novel Payudara (Penerbit Melibas, Jakarta, September 2004), yang akan dirayakan peluncurannya di Rumah Dunia pada 9 Oktober 2004. Data-data tersebut tentu saja belum lagi lengkap, karena tentulah masih ada karya-karya yang luput dari perhatian dan dokumentasi penulis. Disamping itu, banyak pula karya prosa fiksi (cerpen) yang berceceran di media massa lokal maupun nasional yang belum lagi beroleh kesempatan dibukukan. Yang terang, tampak ada sejenis kegairahan dan kemeriahan dalam wilayah prosa fiksi, terutama novel, di Banten hari-hari ini. Hal ini sungguh menggembirakan, apalagi banyak hal-ihwal di tanah Banten yang menunggu digali, dieksplorasi, dan diungkapkan dalam perspektif cerita yang lebih kaya dan sekaligus menyodorkan dunia alternatif bagi penemuan berbagai macam dimensi eksistensi kehidupan manusia (Banten) bersama seluruh ambiguitasnya.
**
Serang, Oktober 2004
*) Penulis, penyair kelahiran Singarajan, Pontang, Serang. Presiden Sanggar Sastra Serang (S3) dan penasehat Rumah Dunia (RD) Serang. Kumpulan puisi terbarunya Pangeran [Lelaki yang Tak Menginginkan Sorga] sedang menunggu diterbitkan. Tulisan ini dimuat di Fajar Banten.